Tari Barong Brutuk
Peninggalan kebudayaan Pra Hindu selain
tari Sang Hyang adalah tari Barong. Tari Barong adalah salah satu dari Tari
Bali. Kata Barong berasal dari kata bahruang yang berarti binatang beruang,
merupakan seekor binatang mythology yang mempunyai kekuatan gaib, dianggap
sebagai binatang pelindung. Topeng Barong dibuat dari kayu yang biasanya
diambil dari tempat – tempat angker, oleh sebab itu Barong merupakan benda
sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu Bali. Dalam perkembangannya,
kemudian Barong di Bali tidak hanya diwujudkan dalam binatang berkaki empat
akan tetapi ada pula yang berkaki dua seperti salah satunya adalah Barong
Landung.
Salah satu kabupaten di Bali mempunyai
Tari Barong yang tergolong unik dan klasik yang memiliki wujud berbeda dari
barong pada umumnya. Adapun tari barong ini dikenal dengan sebutan Barong
Brutuk yang terdapat di desa Trunyan. Trunyan merupakan desa kuno dan kecil yang
letaknya di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli dan di kaki Bukit
Abang.. Barong ini memakai bulu – bulu daun pisang yang sudah kering (kraras)
dan sangat disakralkan oleh masyarakat desa Trunyan. Kehidupan masyarakat desa
Trunyan masih diselimuti oleh tradisi yang sangat kuat.
Akan tetapi, kebudayaan tari barong ini
tidak terlalu termasyarakatkan akibat dari sakralnya tari barong ini sehingga
jarang dipentaskan secara umum. Dengan demikian, melalui paper ini, akan dipaparkan
informasi mengenai Tari Barong Brutuk beserta peruntukannya. Disamping juga
dipaparkan sedikit ulasan perihal keberadaan budaya desa Trunyan secara
singkat. Namun, sebelum mengawali pembahasan tersebut, dalam paper ini akan
disampaikan pula definisi barong beserta jenis-jenisnya secara umum yang
terdapat dimasyarakat sebagai bahan perbandingan oleh pembaca.
Definisi Tari
Barong secara umum dan jenisnya
Tari Barong merupakan peninggalan
kebudayaan Pra Hindu selain Tari Sang Hyang. Topeng Barong dibuat dari kayu
yang biasanya diambil dari tempat – tempat angker seperti kuburan, oleh sebab
itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu
Bali. Sementara ini, kata Barong diduga berasal dari kata bahruang yang berarti
binatang beruang, merupakan seekor binatang mythology yang mempunyai kekuatan
gaib, dianggap sebagai binatang pelindung. Seiring perkembangannya Barong di
Bali tidak hanya diwujudkan dalam binatang berkaki empat namun ada juga Barong
yang berkaki dua. Pertunjukan Tari Barong, dengan atau tanpa lakon selalu
diawali dengan demonstrasi pertunjukan Barong yang diiringi dengan gamelan yang
berbeda – beda seperti: gamelan Gong Kebyar, gamelan Bebarongan, gamelan Batel,
namun pada umumnya dalam pertunjukan Barong gamelan yang dipakai adalah gamelan
Bebarongan.
Keistimewaan Tari Barong terletak pada
unsur – unsur komedi dan unsur – unsur mitologis yang membentuk seni
pertunjukan. Unsur – unsur komedi biasanya diselipkan di tengah – tengah
pertunjukan untuk memancing tawa penonton. Misalnya pada saat tokoh kera yang
mendampingi Barong membuat gerakan – gerakan lucu atau menggigit telinga lawan
mainnya untuk mengundang tawa penonton. Sementara itu, unsur mitologis terletak
pada sumber cerita yang berasal dari tradisi pra-Hindu yang meyakini Barong
sebagai hewan mitologis yang menjadi pelindung kebaikan. Unsur mitologis juga
Nampak dalam pembuatan kostum Barong yang bahan dasarnya adalah kayu yang
diperoleh dari tempat yang dianggap angker seperti kuburan. Unsur mitologis inilah
yang membuat Barong disakralkan oleh masyarakat Hindu Bali.
Adapun jenis – jenis barong yang ada di
Bali yaitu:
1.Barong
Ket ( Ketet)
Barong Ket merupakan jenis barong yang
paling banyak dapat ditemukan di Bali dan yang paling sering dipentaskan serta
memiliki perbendaharaan gerak tari yang lengkap. Barong ini merupakan perpaduan
antara singa, macan, sapi/boma. Badan barong ini dihiasi ukiran yang dibuat dari
kulit dan ditempeli kaca. Bulunya dibuat dari brasok, ijuk dan ada pula dari
bulu burung gagak. Tarian ini menggambarkan pertarungan antara kebajikan
(dharma) dan kebatilan (adharma). Wujud kebajikan dilakonkan oleh Barong, yaitu
penari dengan kostum binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki
kekuatan magis, sementara wujud kebatilan dimainkan oleh Rangda, yaitu sosok
yang menyeramkan dengan dua taring runcing di mulutnya. Ditarikan oleh dua
orang penari, seorang memainkan pada bagian kepala dan yang seorang lagi pada
bagian belakang. Gamelan yang dipakai mengiringi adalah gamelan bebarongan yang
berlaras pelog dan di beberapa tempat ada juga yang memakai gamelan semar
pegulingan.
2.
Barong Bangkal
Barong Bangkal berarti babi besar yang
berumur tua, dan barong ini menyerupai seekor bangkal. Biasa disebut barong
celeng atau barong bangkung .Gambelan yang dipakai untuk mengiringinya adalah
gambelan Batel. Tari barong ini pada umumnya dipentaskan secara berkeliling
desa (ngelawang) pada hari – hari tertentu. Pementasan barong ini tanpa
membawakan sebuah lakon dan ditarikan oleh dua orang penari pula.
3.Barong
Asu
Barong ini menyerupai Anjing terutama
topengnya. Barong ini termasuk barong yang langka, sakral, sangat dikeramatkan
dan hanya terdapat dibeberapa desa di daerah Tabanan dan Badung. Pementasan
barong ini sama dengan barong Bangkal yaitu dipentaskan pada hari – hari
tertentu secara berkeliling di desa tersebut tanpa membawakan sebuah lakon dan
ditarikan oleh dua orang penari. Sedangkan gamelan yang mengiringinya adalah
gamelan Batel.
4.Barong
Gajah
Barong ini menyerupai Gajah yang
ditarikan oleh dua orang penari. Barong ini termasuk jenis barong yang langka
dan sangat dikeramatkan oleh warga setempat. Barong ini terdapat di daerah
Gianyar, Tabanan, Badung, dan Bangli. Barong ini dipentaskan secara berkeliling
desa serta tanpa membawakan lakon dan gamelan yang mengiringi adalah gamelan
Batel.
5.Barong Macan
Barong ini menyerupai seekor macan.
Barong ini merupakan salah satu jenis barong yang sudah dikenal secara luas
dikalangan masyarakat. Pementasannya biasanya dilakukan dengan berkeliling di
desa tersebut dan ada juga yang dilengkapi dengan dramatari semacam Arja.
Barong ini ditarikan oleh dua orang penari dan menggunakan iringan gamelan Batel.
Selain tari Barong diatas,seiring perkembangannya Barong di Bali tidak hanya
diwujudkan Dalam binatang berkaki empat, akan tetapi ada pula yang berkaki dua
yaitu:
1. Barong
Landung
Barong
ini berbeda dengan Barong lainnya. Barong landung wujudnya bukan binatang
melainkan manusia purba yang kakinya dua. Pada umumnya barong landung ini dibuat
berpasangan, terdiri dari Ratu Lanang ( Barong landung laki ) dan Ratu Luh (
Barong Landung perempuan ). Barong ini disebut sedemikian karena bentuknya
besar dan tinggi (seperti ondel-ondel Jakarta). Ratu Lanang wajahnya sangat
menakutkan dengan muka hitam dan giginya mencolot keluar sedangkan Ratu Luh
berupa perempuan tua seperti perempuan cina. Dalam pementasannya Barong Landung
mengambil lakon seperti lakon Arja dan diiringi dengan gamelan Batel.
2. Barong
Blasblasan
Barong
Blasblasan/barong Kedingklik adalah suatu bentuk pementasan yang dilakukan
secara ngelawang, penarinya hanya mengenakan topeng wayang wong dengan lakon cuplikan dari ceritra
Ramayana yang pada umumnya mengandung adegan peperangan dan setiap tokoh
dimainkan oleh seorang penari. Barong ini banyak di pentaskan pada hari hari
Raya Galungan maupun Kuningan dan biasanya penarinya adalah anak anak. Gambelan
pengiringnya ada yang berupa Batel dan ada pula yang semacam Bebonangan(Gambelan
batel yang dilengkapi dengan reyong). Barong Blasblasan ini terdapat di daerah
Bangli, Gianyar, dan Klungkung.
Disamping jenis-jenis Barong
tersebut diatas, masih ada salah satu jenis
Barong lain yaitu Barong Brutuk
yang terdapat di desa Trunyan ( sebuah Desa kecil dipinggir sebelah timur dari
Danau Batur ).
Profil Desa Trunyan
Menyebut nama Trunyan, ingatlah pada
sebuah desa kuno dan kecil yang letaknya terpencil di tepi Danau Batur,
Kintamani, Kabupaten Bangli dan di kaki Bukit Abang.. Kehidupan masyarakat desa
Trunyan masih diselimuti oleh tradisi yang masih sangat kuat. Desa ini
merupakan sebuah desa Bali Aga dan Bali
Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga berarti orang
Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli.
Penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan
jati diri mereka dalam dua versi yaitu:
1.
Versi pertama : orang Trunyan adalah
orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari
langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu
mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi
dari langit.
2.
Versi kedua :orang Trunyan hidup dalam
sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan
bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata
Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut. Konon, pohon
ini pernah menyebarkan bau sangat harum. Keharumannya inilah yang menyerap bau
busuk mayat-mayat di kuburan ini. Taru Menyan sendiri diyakini sebagai asal
mula nama Desa Trunyan.
Keunikan lainnya adalah peninggalan
purbakala, Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun Saka 813 (891 Masehi), Raja
Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun kuil. Kuil
berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da
Tonta. Kuil bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya
tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan
sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana
Ratu Gede Pancering Jagat. Setiap dua tahun sekali di pura ini digelar upacara
besar. Tepatnya pada Purnama Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya
dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari.
“Sayangnya, tarian Sanghyang Dedari kini sudah punah, tidak ada lagi yang
menarikannya”. Kini yang ada hanya Tari Barong Brutuk dalam pagelaran ritual
keagamaan desa adat Trunyan.
Pagelaran Barong Brutuk
Barong Brutuk merupakan unen – unen Bhatara Ratu Pancaring Jagat
di desa Trunyan yang banyaknya adalah 21 orang. Wajah barong – barong itu
menyerupai wajah-wajah topeng primitif yang matanya besar dengan warna putih
atau coklat dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu. Barong
Brutuk itu ditarikan oleh para penari pria yang diambil dari anggota sekaa truna
yang ada di desa Trunyan. Sebelum menarikan barong-barong sakral itu, para
taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42 hari. Mereka tinggal di
sekitar Bhatara Datonta dan setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan
mempelajari nyanyian kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para
taruna itu dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya. Kegiatan lain
yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, yaitu mengumpulkan daun-daun
pisang dari desa Pinggan yang digunakan sebagai busana tarian Brutuk. Daun-daun
pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang)
dijadikan semacam rok yang akan digunakan oleh para penari Brutuk.
Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun
pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di
bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan celana dalam yang juga dibuat
dari tali pohon pisang.
Pagelaran Barong Brutuk dipentaskan pada
siang hari tepat ketika mulai Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat.
Biasanya upacara Brutuk berlangsung selama 3 hari berturut-turut dimulai pada
pukul 12.00 siang dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore. Para penari Brutuk
menggunakan busana daun pisang kering dan hiasan kepala dari janur.; Seorang
berfungsi sebagai Raja Brutuk, seorang berfungsi sebagai Sang Ratu, seorang
berfungsi sebagai Patih, seorang berfungsi sebagai kakak Sang Ratu, dan
selebihnya menjadi anggota biasa. Tarian Brutuk itu menggambarkan konsep
dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat,
laki-laki dan perempuan.
Upacara Brutuk dimulai dengan penampilan
para unen-unen tingkat anggota. Mereka mengelilingi tembok pura masing-masing
tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton peserta upacara. Cemetinya
membuat bunyi melengking dan membangkitkan rasa takut penonton. Mereka takut
disambar dan kena cemeti Sang Brutuk. Ketika Sang Raja, Ratu dan Patih, dan
kakak Sang Ratu tampil dalam pementasan, seorang pemangku berpakaian putih
mendekati keempat penari itu dan langsung menyajikan sesajen, seperangkat
sesaji penyambutan dan diiringi doa-doa keselamatan bagi masyarakat Trunyan.
Keempat ningrat Brutuk itu juga mengelilingi pura sebanyak tiga kali,
melambaikan cemeti mereka dan kemudian bergabung dengan para Brutuk yang lain.
Penonton peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk untuk mengambil
daun-daun pisang yang lepas yang akan mereka digunakan sebagai sarana
kesuburan. Para penonton yang berhasil memperoleh daun-daun pisang busana
Brutuk itu, akan menyimpannya di rumah dan kemudian baru disebar di area
persawahan ketika mulai menanam padi. Mereka mengharapkan keberhasilan panen.
Disitu drama mencapai klimaksnya, ayunan cemeti diperkeras, memecuti para
penonton yang “mencuri” bagian dari busananya.
Ketika sore hari tiba, tahap upacara
ritual itu dihentikan sementara, dan para penari dipersilahkan istirahat agar
tidak kehabisan tenaga dan topeng meraka diangkat ke atas, seperti helm seorang
kesatria kerajaan. Para penari merebahkan dirinya di bawah naungan atap pura,
sementara beberapa orang anggota desa yang lebih tua mengipasi tubuh mereka.
Masa jeda ini hanya sejenak, dan kemudian tahapan kedua dari upacara ritual itu
dilanjutkan. Para Brutuk kembali ke tertorial mereka, tetapi sekarang mereka
bertugas melindungi Bale Agung yang berada di dekat mereka, tempat sekuler yang
juga dikelilingi tembok. Tempat itu merupakan tempat eksistensi pemerintahan
dan sosial desa. Kegembiraan memuncak setelah para penari dan penonton memainkan
permainan seremonial kuno, sebuah permainan yang menyerupai permainan
sekelompok anak-anak di dunia Barat. Banyak penonton mencoba merampas sobekan
kostum Brutuk dan sebaliknya para penari berhak melecutkan cemeti kepada siapa
saja yang masuk ke daerah mereka, kecuali para wanita yang berbusana khusus
yang masuk saat tertentu dalam festival itu dan bertugas menghaturkan sesajen
kepada Ratu Pancering Jagat.
Upacara dilanjutkan pada sore hari, diawalu
oleh petugas wanita mempersembahkan beberapa sesajen bagi para Brutuk itu
sendiri, merayakan kenyataan bahwa mereka telah dirasuki Dewa. Sesaji itu
terdiri dari buah-buahan, bunga-bunga, dan kue-kue manis yang kemudian diambil
oleh para penari itu, namun tidak dimakan. Para penonton bergerak mendekati mereka,
berebut menukar sesajen itu dengan rokok dan para penari Brutuk yang sudah
jinak itu membiarkan penonton mendekat. Kemudian mereka menukarkan buah-buahan
dan kue-kue dengan rokok. Beberapa orang penonton lainnya mencoba menggunakan
kesempatan itu untuk menyobek daun pisang keberuntungan yang menjadi pakaian
penari, dan lari dari pura dengan kepuasannya.
Masih pada petang hari itu, tahapan
terakhir pertunjukan ritual itu dimulai. Dipimpin pemangku, para wanita membawa
sesajen baru buat Raja dan Ratu Brutuk. Ketika sesajen sudah dipersembahkan,
sang Raja dan Ratu menari bersama, sementara para Brutuk yang lain dan penonton
hanya menyaksikannya. Sang Patih dan saudara laki-laki Ratu melanjutkan aksi
lecutannya secara liar, mencoba melecuti penonton dan mencegah mereka
menyaksikan tarian percintaan sang Raja dan Ratu.
Sepasang Raja dan Ratu, sekarang
menarikan gerakan kuno, yang meniru tingkah laku ayam hutan liar. Sang Raja
sebagai keker (ayam jantan) dan sang Ratu menari sebagai kiuh (ayam betina).
Unggas itu banyak terdapat di daerah sekitar Trunyan. Mereka menyembulkan
kepala, menukik, mematuk-matuk dan menggerakkan pinggul, mencakar tanah dan
membuat gerakan saling menyerang secara tiba-tiba sambil mengepakkan sayapnya.
Gerak-gerakan seperti ayam bertarung atau sedang mengawan. Tarian terus
berlangsung dan kegembiraan para penonton semakin memuncak. Pada saat sendya
kala, para penari berjalan ke bawah mendekati danau Batur. Brutuk laki-laki
dengan topeng merahnya, mengambil posisi dengan berbaris di belakang Raja,
sementara penari bertopeng wanita berbaris berlawanan dengan mereka, berada di
belakang Ratu. Tarian percintaan Raja dan Ratu pun diteruskan selama sekitar
setengah jam, sementara Brutuk pria dan wanita tetap berbaris digarisnya. Hanya
Sang Patih dan saudara laki-laki Sang Ratu yang tetap aktif, mereka terus
menerus melecutkan cemeti kearah penonton, tetapi mereka hampir tak mampu
menahan desakan penonton. Kegembiraan pun semakin meluap. Akhirnya, dengan
gerakan yang mulai tak gesit, sang Ratu terbang dan melintas garis yang
ditandai dengan panji-panji. Seluruh Brutuk kemudian bersorak ketika sang Raja
terbang mencoba menerkam sang Ratu. Sang Raja langsung menangkapnya dan
merangkul sang Ratu. Pada saat itu para pemuda yang menjadi Brutuk, bersorak
secara serempak, sambil berlari ke dalam air dan menceburkan diri. Di situ
mereka melucuti sisa-sisa daun pisang yang menjadi pakaiannya, berenang dan
bersenang-senang melepaskan lelah. Kostum mereka dibiarkan terapung, sedangkan
topeng-topeng mereka diambil oleh anggota suku yang lebih tua yang turun ke
tepi danau untuk memberi bantuan. Setelah itu penari dan penonton berpisah
untuk acara makan malam setelah semua aktivitas perayaan usai.
Kesimpulan
Dari
pembahasan paper maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Barong
disinyalir berasal dari kata “bahrwang” yang sering kali diartikan sebagai
binatang beruang, seekor binatang mytology yang mempunyai kekuatan gaib dan dianggap sebagai pelindung. Secara umum adapun
jenis – jenis barong di bali meliputi : barong Ket (Ketet), barong Bangkal,
barong Asu, barong Gajah, barong Macan,barong Landung, barong Blasblasan.
Selain jenis barong tersebut, ada jenis barong lain yang tergolong unik, klasik
dan sangat disakralkan oleh masyarakat setempat, barong tersebut diberi nama
Barong Brutuk. Barong ini terdapat di Desa Trunyan, Kintamani, Kabupaten
Bangli.
2. Desa
Trunyan merupakan sebuah desa kuno dan kecil yang letaknya terpencil di tepi
Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli dan di kaki Bukit Abang. Desa ini
merupakan sebuah desa Bali Aga dan Bali
Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga berarti orang
Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Di desa ini terdapat
pohon yang sangat harum sekali yang berfungsi untuk menyerap bau busuk dari
mayat – mayat di kuburan tersebut. Nama pohon itu adalah Taru Menyan yang
diyakini sebagai asal mula nama desa Trunyan. Di desa ini tepatnya pada Purnama
Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral,
Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari.
3. Barong
Brutuk merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu selain tari Sang Hyang. Pagelaran
Barong Brutuk dilaksanakan saat dimulainya Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering
Jagat, berlangsung selama 3 hari. Barong Brutuk berjumlah 21 orang dan
merupakan unen – unen Ratu Pancering Jagat. Barong Brutuk itu ditarikan oleh
para penari pria yang diambil dari anggota sekaa truna yang ada di desa
Trunyan. Sebelum menarikan barong-barong sakral itu, para taruna harus melewati
proses sakralisasi (proses penyucian diri) selama 42 hari.Busana para penari
Brutuk yang terbuat dari daun pisang kering, dengan hiasan kepala dari janur ,
dan Penari-penari Brutuk juga menggunakan celana dalam yang juga dibuat dari
tali pohon pisang. Sebagai upacara ritus kehidupan, peristiwa Brutuk memiliki
kemiripan dengan perayaan dari kebudayaan lainnya. Dari proses pengasingan diri, pencaharian berkah di alam
yang buas (mencari daun pisang pilihan), perwalian dalam tradisi suku, doa-doa,
semuanya memiliki kemiripan. Lapis-lapis yang bisa diungkap adalah bagaimana
sang Raja dan Ratu memainkan tarian keker (ayam jantan) dan kiuh (ayam betina) salah satu tiruan gerak-gerak tari yang
bersumber pada flora dan fauna yang menjadi inspirasi penciptaan tarian masa
kini. Keker dan kiuh juga menggambarkan dua kelompok masyarakat yang berbeda
yaitu pria dan wanita yang satu sama lain tak dapat dipisahkan dalam kebudayaan
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Dibia I Wayan. 1999.”Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali”,:Masyarakat
Seni Pertunjukan Indonesia arti.line.
http://noversiana.host22.com/Barong%20Brutuk.html
Komentar
Posting Komentar