Mitos tidak menarikan tari Rejang Dewa di Pura Mas Medewi Banjar Tegal. Bebalang, Bangli
Pura
Mas Medewi berlokasi di Banjar Tegal, kelurahan Bebalang, kabupaten Bangli. Pura ini didirikan dekat dengan sumber
mata air dan maksud pendirian pura
ini adalah untuk tetap menjaga kesucian mata air yang ada. Di pura ini distanakanlah Ida Ratu Mas
Medewi, yang selanjurnya menjadi nama pura itu sendiri. Sesuai maksud pendirian
pura tersebut, maka masyarakat Banjar
Tegal tidak memperbolehkan orang yang sedang mengalami cuntaka untuk mandi atau
mengambil air disana, serta setiap orang yang mandi tidak diperbolehkan memakai
pakaian karena pada sumber air tersebut dibangun sebuah pelinggih tempat
pemelastian ida betara setiap ada odalan di pura
tersebut. Sumber mata air tersebut juga diyakini masyarakat bahwa, apabila ada
pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan dan memohon serta
mandi disumber mata air tersebut maka besar harapannya akan terkabul. Tentunya
juga ada persyaratan khusus dan memohon dengan hati yang tulus. Beberapa
masyarakat Banjar Tegal sudah membuktikannya dan beberapa orang dari luar juga
ada yang memohon kesana agar dikaruniai anak. Sumber mata air disana dinamakan
dengan pangsut, secara pasti narasumber tidak mengetahui bagaimana sejarah
penamaan mata air tersebut, tetapi menurut cerita dari leluhurnya, diperkirakan
nama tersebut muncul dari kata ngangsut
yang artinya jauh dari pemukiman masyarakat dan dulunya tempat itu adalah
ladang warga. Seiring dengan berjalannya waktu, entah kenapa nama sumber mata air tersebut terkenl dengsan sebutan pangsut. Sudah puluhan tahun di Pura Mas Medewi, ketika ada upacara
piodalan tidak menggunakan tarian Rejang Dewa yang ditarikan oleh anak-anak.
Tentunya, tidak menggunakan tarian tersebut dilandai oleh sebuah mitos yang
sampai saat ini masih dipercaya dan diceritakan turun temurun oleh orang-orang
tua di Banjar Tegal. Bapak I Wayan Diarsa merupakan salah satu penua di Banjar
Tegal yang mengetahui mitos yang ada di pura Mas Medewi.
Diceritakan
oleh bapak Wayan Diarsa, bahwa dulunya prosesi piodalan di Pura Mas Medewi sama
layaknya di pura lain, yang dilengkapi dengan adanya tari Rejang Dewa yang
ditarikan oleh anak-anak yang belum akil balik. Namun terjadi kejadian buruk
setiap ditarikan tarian tersebut, penari paling akhir selalu hilang dan tidak
diketahui kemana perginya. Kejadian ini terjadi berulang ulang, hingga ada
warga yang mengatakan bahwa penari dibarisan terakhir hilang karena dilarikan
oleh raksasa. Menurut narasumber, raksasa yang dimaksud berwujud seperti manusia
yang besar dan memiliki taring. Keresahan wargapun semakin menjadi-jadi, hingga
ketika dilaksanakan Karya Gede di pura
ini, warga memiliki inisiatif untuk mengetahui dimana sarang raksasa yang
mengganggu tersebut. Akhirnya pada pementasan tari Rejang Dewa, warga mengisi selendang
penari dibarisan paling belakang dengan beras putih kuning. Ketika raksasa itu mengambil
penari terakhir, beras putih kuning terjatuh sedikit demi sedikit dari selendang
penari dan memberikan tuntunan jalan bagi warga untuk menemukan sarang raksasa
tersebut. Hingga akhirnya warga menemukan sebuah goa di tengah hutan di atas pura, dan didepan goa tersebut
berserakan beras putih kuning itu. Malang nasib penari Rejang tersebut tidak
dapat diselamatkan oleh masyarakat Banjar Tegal karena hari sudah malam dan
mereka tidak membawa peralatan apapun apabila raksasa itu melawan. Keesokan
harinya, warga berbondong-bondong membawa senjata yang dimilikinya untuk
mendatangi goa sarang raksasa itu. Sampainya di hutan, ditemukan raksasa itu
sedang berada didepan goa, selanjutnya warga menyalakan obor dan melempari
raksasa tersebut hingga raksasa itu berhasil diusir. Wargapun memasuki goa dan menemukan
tengkorak dan tulang-tulang manusia didalam goa.
Lanjut
cerita, ada seorang petani yang sedang mencangkul disawahnya, seketika itu dia
didatangi oleh raksasa yang menurut narasumber itu adalah raksasa yang telah
diusir dari Banjar Tegal. Awalnya petani tersebut tidak menghiraukan, namun
sedikit demi sedikit raksasa itu mendekat sehingga petani tersebut berlari dan beruntung
taring raksasa ini tersangkut di pohon ligondi besar yang menaungi pinggir
sawah. Raksasa pun merintih kesakitan, seketika itu petani tersebut langsung memukuli
kepala raksasa itu dengan pangkal tambah (cangkul). Hal ini diyakini masyarakat
sebagai awal munculnya desa Tambahan yang berada disebelah Banjar Tegal. Semenjak
kejadian itulah di Pura Mas Medewi setiap ada upacara piodalan, tidak diiringi
oleh tari Rejang Dewa anak-anak, karena takut kemungkinan ada raksasa lain yang
datang dan mencuri penari Rejang Dewa lagi. Sampai sekarang hal ini masih
sangat dipercaya oleh masyarakat Banjar Tegal, sehingga dalam setiap upacara
piodalan, tari Rejang Dewa ditarikan oleh Istri Pemangku dan orang-orang tua.
Tetapi belakang ini, tari Rejang Dewa lebih sering ditarikan oleh Sekee Truni
Banjar Tegal.
Pesan
yang dapat disampaikan adalah apabila kita menginginkan sesuatu harus
berdasarkan hati yang tulus serta mempunyai keyakinan yang besar untuk bisa
mencapainya. Apabila kita mengalami suatu masalah, baik masalah itu ringan
maupun berat, hendaknya kita selalu berusaha untuk mencari jalan keluar dari permasalahan
tersebut. Walaupun seandainya pernah gagal, namun dengan berusaha semaksimal
mungkin, kita pasti akan dapat keluar dari masalah yang menimpa kita. Seperti kata
bijak mengatakan, bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar dari
kemampuan manusia itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar