BAB I
                                                              PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Peninggalan kebudayaan Pra Hindu selain tari Sang Hyang adalah tari Barong. Tari Barong adalah salah satu dari Tari Bali. Kata Barong berasal dari kata bahruang yang berarti binatang beruang, merupakan seekor binatang mythology yang mempunyai kekuatan gaib, dianggap sebagai binatang pelindung. Topeng Barong dibuat dari kayu yang biasanya diambil dari tempat – tempat angker, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu Bali. Dalam perkembangannya, kemudian Barong di Bali tidak hanya diwujudkan dalam binatang berkaki empat akan tetapi ada pula yang berkaki dua seperti salah satunya adalah Barong Landung.
Salah satu kabupaten di Bali mempunyai Tari Barong yang tergolong unik dan klasik yang memiliki wujud berbeda dari barong pada umumnya. Adapun tari barong ini dikenal dengan sebutan Barong Brutuk yang terdapat di desa Trunyan. Trunyan merupakan desa kuno dan kecil yang letaknya di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli dan di kaki Bukit Abang.. Barong ini memakai bulu – bulu daun pisang yang sudah kering (kraras) dan sangat disakralkan oleh masyarakat desa Trunyan. Kehidupan masyarakat desa Trunyan masih diselimuti oleh tradisi yang sangat kuat.
Akan tetapi, kebudayaan tari barong ini tidak terlalu termasyarakatkan akibat dari sakralnya tari barong ini sehingga jarang dipentaskan secara umum. Dengan demikian, melalui paper ini, akan dipaparkan informasi mengenai Tari Barong Brutuk beserta peruntukannya. Disamping juga dipaparkan sedikit ulasan perihal keberadaan budaya desa Trunyan secara singkat. Namun, sebelum mengawali pembahasan tersebut, dalam paper ini akan disampaikan pula definisi barong beserta jenis-jenisnya secara umum yang terdapat dimasyarakat sebagai bahan perbandingan oleh pembaca.
1.2    Rumusan Masalah
1.    Apa definisi Tari Barong secara umum serta jenisnya?
2.    Bagaimana profil Desa Trunyan?
3.    Apa saja informasi mengenai Pagelaran Barong Brutuk?
1.3    Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan paper ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia I adalah :
1.    Untuk memberikan ulasan dari definisi Tari Barong secara umum serta jenisnya kepada pembaca dan memberikan penjelasan yang memadai.
2.    Untuk mengetahui profil Desa Trunyan.
3.    Untuk memberikan informasi terkait mengenai pagelaran Barong Brutuk kepada pembaca dan memberikan penjelasan yang memadai.
1.4    Manfaat
1.    Dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai definisi Tari Barong secara umum serta jenisnya.
2.    Dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai profil Desa Trunyan.
3.    Dapat memberikan informasi kepada pembaca perihal pagelaran Barong Brutuk.



                                                                       BAB II
                                                               PEMBAHASAN
2.1 Definisi Tari Barong secara umum dan jenisnya
Tari Barong merupakan peninggalan kebudayaan Pra Hindu selain Tari Sang Hyang. Topeng Barong dibuat dari kayu yang biasanya diambil dari tempat – tempat angker seperti kuburan, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu Bali. Sementara ini, kata Barong diduga berasal dari kata bahruang yang berarti binatang beruang, merupakan seekor binatang mythology yang mempunyai kekuatan gaib, dianggap sebagai binatang pelindung. Seiring perkembangannya Barong di Bali tidak hanya diwujudkan dalam binatang berkaki empat namun ada juga Barong yang berkaki dua. Pertunjukan Tari Barong, dengan atau tanpa lakon selalu diawali dengan demonstrasi pertunjukan Barong yang diiringi dengan gamelan yang berbeda – beda seperti: gamelan Gong Kebyar, gamelan Bebarongan, gamelan Batel, namun pada umumnya dalam pertunjukan Barong gamelan yang dipakai adalah gamelan Bebarongan.
Keistimewaan Tari Barong terletak pada unsur  – unsur  komedi dan unsur  – unsur mitologis yang membentuk seni pertunjukan. Unsur – unsur komedi biasanya diselipkan di tengah – tengah pertunjukan untuk memancing tawa penonton. Misalnya pada saat tokoh kera yang mendampingi Barong membuat gerakan – gerakan lucu atau menggigit telinga lawan mainnya untuk mengundang tawa penonton. Sementara itu, unsur mitologis terletak pada sumber cerita yang berasal dari tradisi pra-Hindu yang meyakini Barong sebagai hewan mitologis yang menjadi pelindung kebaikan. Unsur mitologis juga Nampak dalam pembuatan kostum Barong yang bahan dasarnya adalah kayu yang diperoleh dari tempat yang dianggap angker seperti kuburan. Unsur mitologis inilah yang membuat Barong disakralkan oleh masyarakat Hindu Bali.
Adapun jenis – jenis barong yang ada di Bali yaitu:
1.Barong Ket ( Ketet)
Barong Ket merupakan jenis barong yang paling banyak dapat ditemukan di Bali dan yang paling sering dipentaskan serta memiliki perbendaharaan gerak tari yang lengkap. Barong ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi/boma. Badan barong ini dihiasi ukiran yang dibuat dari kulit dan ditempeli kaca. Bulunya dibuat dari brasok, ijuk dan ada pula dari bulu burung gagak. Tarian ini menggambarkan pertarungan antara kebajikan (dharma) dan kebatilan (adharma). Wujud kebajikan dilakonkan oleh Barong, yaitu penari dengan kostum binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki kekuatan magis, sementara wujud kebatilan dimainkan oleh Rangda, yaitu sosok yang menyeramkan dengan dua taring runcing di mulutnya. Ditarikan oleh dua orang penari, seorang memainkan pada bagian kepala dan yang seorang lagi pada bagian belakang. Gamelan yang dipakai mengiringi adalah gamelan bebarongan yang berlaras pelog dan di beberapa tempat ada juga yang memakai gamelan semar pegulingan.
2. Barong Bangkal
Barong Bangkal berarti babi besar yang berumur tua, dan barong ini menyerupai seekor bangkal. Biasa disebut barong celeng atau barong bangkung .Gambelan yang dipakai untuk mengiringinya adalah gambelan Batel. Tari barong ini pada umumnya dipentaskan secara berkeliling desa (ngelawang) pada hari – hari tertentu. Pementasan barong ini tanpa membawakan sebuah lakon dan ditarikan oleh dua orang penari pula.
3.Barong Asu
Barong ini menyerupai Anjing terutama topengnya. Barong ini termasuk barong yang langka, sakral, sangat dikeramatkan dan hanya terdapat dibeberapa desa di daerah Tabanan dan Badung. Pementasan barong ini sama dengan barong Bangkal yaitu dipentaskan pada hari – hari tertentu secara berkeliling di desa tersebut tanpa membawakan sebuah lakon dan ditarikan oleh dua orang penari. Sedangkan gamelan yang mengiringinya adalah gamelan Batel.
4.Barong Gajah
Barong ini menyerupai Gajah yang ditarikan oleh dua orang penari. Barong ini termasuk jenis barong yang langka dan sangat dikeramatkan oleh warga setempat. Barong ini terdapat di daerah Gianyar, Tabanan, Badung, dan Bangli. Barong ini dipentaskan secara berkeliling desa serta tanpa membawakan lakon dan gamelan yang mengiringi adalah gamelan Batel.
5.Barong Macan
Barong ini menyerupai seekor macan. Barong ini merupakan salah satu jenis barong yang sudah dikenal secara luas dikalangan masyarakat. Pementasannya biasanya dilakukan dengan berkeliling di desa tersebut dan ada juga yang dilengkapi dengan dramatari semacam Arja. Barong ini ditarikan oleh dua orang penari dan menggunakan iringan gamelan Batel.
Selain tari Barong diatas,seiring  perkembangannya Barong di Bali tidak hanya diwujudkan Dalam binatang berkaki empat, akan tetapi ada pula yang berkaki dua yaitu:
1.    Barong Landung
Barong ini berbeda dengan Barong lainnya. Barong landung wujudnya bukan binatang melainkan manusia purba yang kakinya dua. Pada umumnya barong landung ini dibuat berpasangan, terdiri dari Ratu Lanang ( Barong landung laki ) dan Ratu Luh ( Barong Landung perempuan ). Barong ini disebut sedemikian karena bentuknya besar dan tinggi (seperti ondel-ondel Jakarta). Ratu Lanang wajahnya sangat menakutkan dengan muka hitam dan giginya mencolot keluar sedangkan Ratu Luh berupa perempuan tua seperti perempuan cina. Dalam pementasannya Barong Landung mengambil lakon seperti lakon Arja dan diiringi dengan gamelan Batel.

2.    Barong Blasblasan
Barong Blasblasan/barong Kedingklik adalah suatu bentuk pementasan yang dilakukan secara ngelawang, penarinya hanya mengenakan topeng  wayang wong dengan lakon cuplikan dari ceritra Ramayana yang pada umumnya mengandung adegan peperangan dan setiap tokoh dimainkan oleh seorang penari. Barong ini banyak di pentaskan pada hari hari Raya Galungan maupun Kuningan dan biasanya penarinya adalah anak anak. Gambelan pengiringnya ada yang berupa Batel dan ada pula yang semacam Bebonangan(Gambelan batel yang dilengkapi dengan reyong). Barong Blasblasan ini terdapat di daerah Bangli, Gianyar, dan Klungkung.

Disamping jenis-jenis Barong tersebut diatas, masih ada salah satu jenis  Barong  lain yaitu Barong Brutuk yang terdapat di desa Trunyan ( sebuah Desa kecil dipinggir sebelah timur dari Danau Batur ).

2.2 Profil Desa Trunyan
Menyebut nama Trunyan, ingatlah pada sebuah desa kuno dan kecil yang letaknya terpencil di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli dan di kaki Bukit Abang.. Kehidupan masyarakat desa Trunyan masih diselimuti oleh tradisi yang masih sangat kuat. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga dan  Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli.
Penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi yaitu:
1.    Versi pertama : orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
2.    Versi kedua :orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut. Konon, pohon ini pernah menyebarkan bau sangat harum. Keharumannya inilah yang menyerap bau busuk mayat-mayat di kuburan ini. Taru Menyan sendiri diyakini sebagai asal mula nama Desa Trunyan.
Keunikan lainnya adalah peninggalan purbakala, Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun Saka 813 (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun kuil. Kuil berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta. Kuil bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat. Setiap dua tahun sekali di pura ini digelar upacara besar. Tepatnya pada Purnama Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari. “Sayangnya, tarian Sanghyang Dedari kini sudah punah, tidak ada lagi yang menarikannya”. Kini yang ada hanya Tari Barong Brutuk dalam pagelaran ritual keagamaan desa adat Trunyan.
2.3  Pagelaran Barong Brutuk
Barong Brutuk merupakan unen – unen Bhatara Ratu Pancaring Jagat di desa Trunyan yang banyaknya adalah 21 orang. Wajah barong – barong itu menyerupai wajah-wajah topeng primitif yang matanya besar dengan warna putih atau coklat dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu. Barong Brutuk itu ditarikan oleh para penari pria yang diambil dari anggota sekaa truna yang ada di desa Trunyan. Sebelum menarikan barong-barong sakral itu, para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42 hari. Mereka tinggal di sekitar Bhatara Datonta dan setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya. Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, yaitu mengumpulkan daun-daun pisang dari desa Pinggan yang digunakan sebagai busana tarian Brutuk. Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan semacam rok yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan celana dalam yang juga dibuat dari tali pohon pisang.
Pagelaran Barong Brutuk dipentaskan pada siang hari tepat ketika mulai Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat. Biasanya upacara Brutuk berlangsung selama 3 hari berturut-turut dimulai pada pukul 12.00 siang dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore. Para penari Brutuk menggunakan busana daun pisang kering dan hiasan kepala dari janur.; Seorang berfungsi sebagai Raja Brutuk, seorang berfungsi sebagai Sang Ratu, seorang berfungsi sebagai Patih, seorang berfungsi sebagai kakak Sang Ratu, dan selebihnya menjadi anggota biasa. Tarian Brutuk itu menggambarkan konsep dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat, laki-laki dan perempuan.
Upacara Brutuk dimulai dengan penampilan para unen-unen tingkat anggota. Mereka mengelilingi tembok pura masing-masing tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton peserta upacara. Cemetinya membuat bunyi melengking dan membangkitkan rasa takut penonton. Mereka takut disambar dan kena cemeti Sang Brutuk. Ketika Sang Raja, Ratu dan Patih, dan kakak Sang Ratu tampil dalam pementasan, seorang pemangku berpakaian putih mendekati keempat penari itu dan langsung menyajikan sesajen, seperangkat sesaji penyambutan dan diiringi doa-doa keselamatan bagi masyarakat Trunyan. Keempat ningrat Brutuk itu juga mengelilingi pura sebanyak tiga kali, melambaikan cemeti mereka dan kemudian bergabung dengan para Brutuk yang lain. Penonton peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk untuk mengambil daun-daun pisang yang lepas yang akan mereka digunakan sebagai sarana kesuburan. Para penonton yang berhasil memperoleh daun-daun pisang busana Brutuk itu, akan menyimpannya di rumah dan kemudian baru disebar di area persawahan ketika mulai menanam padi. Mereka mengharapkan keberhasilan panen. Disitu drama mencapai klimaksnya, ayunan cemeti diperkeras, memecuti para penonton yang “mencuri” bagian dari busananya.
Ketika sore hari tiba, tahap upacara ritual itu dihentikan sementara, dan para penari dipersilahkan istirahat agar tidak kehabisan tenaga dan topeng meraka diangkat ke atas, seperti helm seorang kesatria kerajaan. Para penari merebahkan dirinya di bawah naungan atap pura, sementara beberapa orang anggota desa yang lebih tua mengipasi tubuh mereka. Masa jeda ini hanya sejenak, dan kemudian tahapan kedua dari upacara ritual itu dilanjutkan. Para Brutuk kembali ke tertorial mereka, tetapi sekarang mereka bertugas melindungi Bale Agung yang berada di dekat mereka, tempat sekuler yang juga dikelilingi tembok. Tempat itu merupakan tempat eksistensi pemerintahan dan sosial desa. Kegembiraan memuncak setelah para penari dan penonton memainkan permainan seremonial kuno, sebuah permainan yang menyerupai permainan sekelompok anak-anak di dunia Barat. Banyak penonton mencoba merampas sobekan kostum Brutuk dan sebaliknya para penari berhak melecutkan cemeti kepada siapa saja yang masuk ke daerah mereka, kecuali para wanita yang berbusana khusus yang masuk saat tertentu dalam festival itu dan bertugas menghaturkan sesajen kepada Ratu Pancering Jagat.
Kemudian pada sore hari, petugas wanita mempersembahkan beberapa sesajen bagi para Brutuk itu sendiri, merayakan kenyataan bahwa mereka telah dirasuki Dewa. Sesaji itu terdiri dari buah-buahan, bunga-bunga, dan kue-kue manis yang kemudian diambil oleh para penari itu, namun tidak dimakan. Para penonton bergerak mendekati mereka, berebut menukar sesajen itu dengan rokok dan para penari Brutuk yang sudah jinak itu membiarkan penonton mendekat. Kemudian mereka menukarkan buah-buahan dan kue-kue dengan rokok. Beberapa orang penonton lainnya mencoba menggunakan kesempatan itu untuk menyobek daun pisang keberuntungan yang menjadi pakaian penari, dan lari dari pura dengan kepuasannya.
Masih pada petang hari itu, tahapan terakhir pertunjukan ritual itu dimulai. Dipimpin pemangku, para wanita membawa sesajen baru buat Raja dan Ratu Brutuk. Ketika sesajen sudah dipersembahkan, sang Raja dan Ratu menari bersama, sementara para Brutuk yang lain dan penonton hanya menyaksikannya. Sang Patih dan saudara laki-laki Ratu melanjutkan aksi lecutannya secara liar, mencoba melecuti penonton dan mencegah mereka menyaksikan tarian percintaan sang Raja dan Ratu.
Sepasang Raja dan Ratu, sekarang menarikan gerakan kuno, yang meniru tingkah laku ayam hutan liar. Sang Raja sebagai keker (ayam jantan) dan sang Ratu menari sebagai kiuh (ayam betina). Unggas itu banyak terdapat di daerah sekitar Trunyan. Mereka menyembulkan kepala, menukik, mematuk-matuk dan menggerakkan pinggul, mencakar tanah dan membuat gerakan saling menyerang secara tiba-tiba sambil mengepakkan sayapnya. Gerak-gerakan seperti ayam bertarung atau sedang mengawan. Tarian terus berlangsung dan kegembiraan para penonton semakin memuncak. Pada saat sendya kala, para penari berjalan ke bawah mendekati danau Batur. Brutuk laki-laki dengan topeng merahnya, mengambil posisi dengan berbaris di belakang Raja, sementara penari bertopeng wanita berbaris berlawanan dengan mereka, berada di belakang Ratu. Tarian percintaan Raja dan Ratu pun diteruskan selama sekitar setengah jam, sementara Brutuk pria dan wanita tetap berbaris digarisnya. Hanya Sang Patih dan saudara laki-laki Sang Ratu yang tetap aktif, mereka terus menerus melecutkan cemeti kearah penonton, tetapi mereka hampir tak mampu menahan desakan penonton. Kegembiraan pun semakin meluap. Akhirnya, dengan gerakan yang mulai tak gesit, sang Ratu terbang dan melintas garis yang ditandai dengan panji-panji. Seluruh Brutuk kemudian bersorak ketika sang Raja terbang mencoba menerkam sang Ratu. Sang Raja langsung menangkapnya dan merangkul sang Ratu. Pada saat itu para pemuda yang menjadi Brutuk, bersorak secara serempak, sambil berlari ke dalam air dan menceburkan diri. Di situ mereka melucuti sisa-sisa daun pisang yang menjadi pakaiannya, berenang dan bersenang-senang melepaskan lelah. Kostum mereka dibiarkan terapung, sedangkan topeng-topeng mereka diambil oleh anggota suku yang lebih tua yang turun ke tepi danau untuk memberi bantuan. Setelah itu penari dan penonton berpisah untuk acara makan malam setelah semua aktivitas perayaan usai.



                                                                               BAB III
                                                                            PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Dari pembahasan paper maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.    Barong disinyalir berasal dari kata “bahrwang” yang sering kali diartikan sebagai binatang beruang, seekor binatang mytology yang mempunyai kekuatan gaib dan  dianggap sebagai pelindung. Secara umum adapun jenis – jenis barong di bali meliputi : barong Ket (Ketet), barong Bangkal, barong Asu, barong Gajah, barong Macan,barong Landung, barong Blasblasan. Selain jenis barong tersebut, ada jenis barong lain yang tergolong unik, klasik dan sangat disakralkan oleh masyarakat setempat, barong tersebut diberi nama Barong Brutuk. Barong ini terdapat di Desa Trunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli.
2.    Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno dan kecil yang letaknya terpencil di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli dan di kaki Bukit Abang. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga dan  Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Di desa ini terdapat pohon yang sangat harum sekali yang berfungsi untuk menyerap bau busuk dari mayat – mayat di kuburan tersebut. Nama pohon itu adalah Taru Menyan yang diyakini sebagai asal mula nama desa Trunyan. Di desa ini tepatnya pada Purnama Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari.
3.    Barong Brutuk merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu selain tari Sang Hyang. Pagelaran Barong Brutuk dilaksanakan saat dimulainya Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat, berlangsung selama 3 hari. Barong Brutuk berjumlah 21 orang dan merupakan unen – unen Ratu Pancering Jagat. Barong Brutuk itu ditarikan oleh para penari pria yang diambil dari anggota sekaa truna yang ada di desa Trunyan. Sebelum menarikan barong-barong sakral itu, para taruna harus melewati proses sakralisasi (proses penyucian diri) selama 42 hari.Busana para penari Brutuk yang terbuat dari daun pisang kering, dengan hiasan kepala dari janur , dan Penari-penari Brutuk juga menggunakan celana dalam yang juga dibuat dari tali pohon pisang. Sebagai upacara ritus kehidupan, peristiwa Brutuk memiliki kemiripan dengan perayaan dari kebudayaan lainnya. Dari proses  pengasingan diri, pencaharian berkah di alam yang buas (mencari daun pisang pilihan), perwalian dalam tradisi suku, doa-doa, semuanya memiliki kemiripan. Lapis-lapis yang bisa diungkap adalah bagaimana sang Raja dan Ratu memainkan tarian keker (ayam jantan) dan kiuh (ayam betina)  salah satu tiruan gerak-gerak tari yang bersumber pada flora dan fauna yang menjadi inspirasi penciptaan tarian masa kini. Keker dan kiuh juga menggambarkan dua kelompok masyarakat yang berbeda yaitu pria dan wanita yang satu sama lain tak dapat dipisahkan dalam kebudayaan manusia.



                                                                 DAFTAR PUSTAKA
Dibia I Wayan. 1999.”Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali”,:Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia arti.line.
http://www.babadbali.com/seni/drama/dt-barong-brutuk.htm
http://www.babadbali.com/map/trunyan.htm
http://www.balitaksu.com/img/barong_brutuk.jpg
http://www.balitv.tv/btv2/index.php/program/pesona-wisata-mainmenu-37/1509-trunyan-keunikan-desa-bali-aga
http://noversiana.host22.com/Barong%20Brutuk.htm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

tata lampu

Ragam Gerak Tari Pendet Pendek

Tari Legong Jobog